Jakarta, CNN Indonesia --
Dua kasus penculikan anak baru-baru ini ternyata manifestasi bentrok kedua orang tua mereka. Anak selalu jadi korban. Psikolog pun memperingatkan dampak bentrok orang tua terhadap kondisi mental anak.
Seorang anak wanita nan lenyap di Cinere, Depok, baru-baru ini bikin publik geger. Seolah mengulang mimpi jelek tentang maraknya penculikan anak, masyarakat dibuat resah dan bersimpati.
Akan tetapi, alih-alih penculikan oleh orang tak dikenal, kasus ini justru dibuat-buat oleh sang ibu, Arlin. Arlin merekayasa peristiwa tersebut demi mempertemukan sang anak, Adella, dengan ayah kandungnya nan telah lama berpisah darinya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belum reda rasa terkejut masyarakat, berita serupa datang dari Bali. Seorang bocah laki-laki asal Inggris, Georgie (8), dilaporkan lenyap di depan rumahnya di Denpasar Selatan.
Dugaan awal, Georgie diculik. Namun investigasi polisi membuktikan sebaliknya. Georgie dibawa ayah kandungnya, BJWB, ke Tangerang Selatan tanpa sepengetahuan sang ibu nan sudah berpisah dengannya.
Dua peristiwa ini menunjukkan pola nan mengkhawatirkan. Anak-anak terseret dalam pusaran bentrok orang dewasa. Bukan hanya sekadar menjadi 'objek' perebutan, anak-anak ini ikut memikul beban emosional nan tak semestinya mereka tanggung.
Psikolog klinis dari Tabula, Arnold Lukito mengatakan dalam beragam peristiwa bentrok family memang anak-anak nan selalu menjadi korban. Dari luar, mereka bisa terlihat baik-baik saja, tapi ada luka tersembunyi nan dipikul anak-anak ini.
"Anak-anak nan menjadi 'korban tersembunyi' dalam bentrok family seperti ini sangat mungkin mengalami emotional insecurity, alias rasa tidak kondusif secara emosional. Bayangkan, orang nan semestinya melindungi mereka justru memanipulasi alias memperalat mereka," katanya saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (28/4).
Lebih lanjut, Arnold menjelaskan akibat psikologis nan ditimbulkan tidak hanya berkarakter sementara. Mereka bisa mengalami loyalty conflict, ialah merasa terpaksa kudu memilih antara ayah alias ibu.
"Itu bukan pilihan nan sehat untuk anak usia 8 alias 10 tahun. Mereka bisa tumbuh dengan rasa bersalah nan terus membebani," kata dia.
Meninggalkan luka psikologis seumur hidup
Menurut Arnold, apa nan dialami Adella maupun Georgie bisa dianalisis melalui teori attachment dari John Bowlby. Teori ini menekankan pentingnya hubungan nan stabil dan kondusif antara anak dan orang tua sebagai fondasi perkembangan emosional.
Ketika hubungan itu terganggu oleh bentrok alias perebutan kewenangan asuh, luka jiwa bisa terbentuk dan menetap. Menurutnya, keterlibatan anak dalam bentrok orang tua dapat meninggalkan luka psikologis seumur hidup, terutama jika tidak ditangani dengan baik.
Ilustrasi. Arnold menyebut anak nan terseret bentrok orang tuanya bisa meninggalkan luka psikologis seumur hidup. (Kinan)
"Kalau hubungan ini rusak, bukan hanya rasa kondusif nan hilang. Anak bisa tumbuh dengan trust issues, jadi susah percaya pada orang lain, termasuk dalam hubungan sosial maupun romantik di masa depan," ujar Arnold.
Meski begitu, Arnold menegaskan bahwa pendapatnya ini bukanlah diagnosa klinis, melainkan refleksi dari teori ilmu jiwa dan kajian atas pemberitaan media. Ia juga mengingatkan bahwa tetap ada jalan untuk memulihkan luka-luka tersebut.
"Pemulihan bisa dilakukan lewat konseling, baik perseorangan untuk anak maupun keluarga. Mediasi juga krusial jika memungkinkan. Intinya, kita perlu bantu anak membangun ulang rasa aman, kepercayaan, dan keahlian mengelola emosi," jelasnya.
[Gambas:Video CNN]
(tis/els)