Jakarta, CNN Indonesia --
Rencana Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk membawa anak-anak dengan perilaku bermasalah di sekolah ke barak militer memicu perdebatan di tengah masyarakat. Tak sedikit nan mempertanyakan maksud dan tujuan dari program tersebut.
Program ini rencananya bakal dimulai secara berjenjang dari daerah-daerah nan dianggap rawah, bekerja sama dengan TNI dan Polri.
Sekitar 30 hingga 40 barak militer disebut telah disiapkan untuk menampung para siswa nan terlibat dalam pergaulan bebas, kriminalitas, alias perilaku menyimpang lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini bukan untuk menghukum, tapi untuk membentuk. Mereka bakal dibina dalam lingkungan nan terstruktur dan penuh kedisiplinan," ujar Dedi.
Tapi, apakah 'wajib militer' untuk anak-anak nan dianggap bermasalah ini betul-betul bisa jadi solusi pembentukan karakter nan lebih baik?
Psikolog klinis dari Tabula, Arnold Lukito menilai wacana ini perlu ditinjau lebih dalam, terutama dari sisi psikologis anak. Pasalnya, kebijakan ini bisa menjadi pedang bermata dua, terutama jika tidak diterapkan dengan pendekatan nan tepat. Potensi akibat psikologis negatif justru bisa mengintai.
Arnold memperingatkan bahwa sisi gelap dari pendekatan ini tidak bisa diabaikan. Jika tidak dibarengi dengan pendekatan psikologis nan benar, anak justru bisa mengalami trauma.
Menurutnya, pendekatan militeristik condong menuntut kedisiplinan tinggi dan bisa mengandung kekerasan verbal alias bentuk nan berakibat negatif, terutama pada anak-anak dengan latar belakang family nan tidak suportif.
"Kita juga kudu tahu gimana background family anak-anak ini, kenakalan bisa muncul lantaran beragam aspek dan ini kudu dilihat lebih dalam," kata Arnold saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (28/4).
Faktanya, lanjut Arnold, perilaku bermasalah sering kali hanya salah satu indikasi dari masalah nan lebih dalam dan mendasar.
"Broken home, bullying, kekerasan, alias rasa haus bakal perhatian, ini akar nan tidak bisa diselesaikan hanya dengan barak militer," jelasnya.
Ilustrasi. Mengirim anak 'nakal' ke barak militer tak jadi solusi membentuk karakter anak. (ANTARA FOTO/AHMAD SUBAIDI)
Arnold juga menyoroti pemberian label 'anak nakal' dan pengiriman ke barak militer bisa memperburuk nilai diri mereka.
"Label itu bisa membikin mereka merasa seperti sampah masyarakat, nan tidak diinginkan. Ini rawan bagi pembentukan konsep diri remaja," ujarnya.
Ada juga akibat pembentukan karakter nan keras dan melindungi dari program tersebut. Alih-alih membentuk karakter positif, anak bisa jadi lebih memberontak alias justru belajar menjadi garang sebagai respons terhadap lingkungan nan dianggap mengancam.
Butuh pendekatan holistik
Agar tidak menjadi bumerang, Arnold menekankan pentingnya merancang program militer ini dengan pendekatan nan holistik. Barak kudu konsentrasi pada pembinaan karakter, bukan sekadar hukuman.
"Pembinanya kudu orang nan mengerti pendidikan anak dan ilmu jiwa perkembangan. Ada banyak langkah membentuk disiplin tanpa menghancurkan nilai diri anak," katanya.
Ia juga menyarankan agar program ini dikombinasikan dengan konseling, training emosi, serta support psikososial lainnya. Kehadiran psikolog dan konselor di dalam kamp adalah syarat absolut agar proses pembinaan tidak menjadi proses penghukuman.
"Kalau hanya kekerasan bentuk alias penghinaan nan digunakan, besar kemungkinan anak bakal menjadi trauma alias malah membentuk pribadi nan lebih agresif," tegas Arnold.
Arnold juga mengingatkan, wacana 'wajib militer' bagi anak bermasalah tak sesederhana nan dipikirkan. Di satu sisi, program ini berpotensi membentuk kembali karakter anak nan berada di periode kenakalan dan kriminalitas.
Tapi di sisi lain, program seperti ini juga membawa akibat psikologis nan serius jika tidak dibarengi dengan pendekatan nan tepat.
"Anak-anak bukan robot nan bisa di-reset dengan langkah keras. Mereka butuh didengar, dibimbing, dan dipahami. Kalau pendekatannya salah, niat baik bisa jadi malapetaka," katanya.
(tis/asr)