Jakarta, CNN Indonesia --
Indonesia kudu segera mempunyai peta jalan transisi daya nan sinkron antar lintas sektor. Hal ini untuk memastikan transformasi menuju daya bersih melangkah efektif dan berkontribusi terhadap sasaran Indonesia Emas 2045.
Hal itu mengemuka dalam forum Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2025 nan digelar Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) di Jakarta, 6-8 Oktober 2025.
Chief Executive Officer (CEO) IESR Fabby Tumiwa menegaskan, transisi daya dapat menjadi mesin pertumbuhan ekonomi baru, namun tetap tersendat oleh kebijakan nan belum terkoordinasi antar kementerian dan lembaga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Masih ada pekerjaan rumah besar. Target di masing-masing sektor belum sinkron. Tanpa koordinasi lintas sektor nan kuat, arah kebijakan bakal melangkah sendiri-sendiri," kata Fabby.
Fabby juga menekankan perlunya lembaga nan mempunyai mandat jelas dan terintegrasi untuk mengawal arah kebijakan daya nasional agar penerapan transisi daya lebih efektif dan konsisten.
Tiga Tantangan Utama
Indonesia Energy Transition Dialogue (IETD) 2025 mengidentifikasi tiga tantangan utama nan dapat menghalang tercapainya visi Indonesia Emas 2045, upaya keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap), dan berkontribusi terhadap mitigasi krisis iklim.
Anggota Indonesia Clean Energy Forum (ICEF), Sripeni Inten Cahyani, menjelaskan tantangan pertama adalah ketegangan geopolitik dan melemahnya multilateralisme.
Ia mengutip pandangan Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, nan menilai para pemimpin bumi sekarang condong lebih konsentrasi pada kepentingan nasional, sehingga kerja sama dunia dalam rumor daya dan suasana menjadi semakin susah terwujud.
"Padahal, kita semua hidup di satu bumi nan sama dan kudu berbareng menjaga komitmen terhadap Persetujuan Paris," ujar Sripeni.
Tantangan berikutnya adalah subsidi dan insentif daya nan belum tepat sasaran. Sripeni menjelaskan bahwa subsidi banyak dialirkan untuk daya fosil. Di sisi lain, daya terbarukan perlu support agar bisa lebih kompetitif dan terjangkau.
Selanjutnya, rantai pasok industri daya bersih nasional nan tetap lemah. Penguatan rantai pasok dapat menjadi mesin pertumbuhan ekonomi baru nan sejalan dengan visi pemerintah mencapai Indonesia Emas 2045 dan keluar dari middle-income trap.
Untuk menyelesaikan halangan ini, ICEF dan Institute for Essential Services Reform (IESR) merekomendasikan tiga strategi utama nan dapat dicapai dalam dua tahun ini.
Pertama, penyelenggaraan program PLTS Desa 100 GW. Program ini dapat menjadi kuda hitam alias game changer bagi transisi daya Indonesia.
Adapun syarat nan dibutuhkan di antaranya terdapat dasar norma nan mengikat, kejelasan lembaga pelaksana, serta sistem penyelenggaraan nan transparan, termasuk peran Koperasi Merah Putih.
Kedua, penambahan kuota PLTS atap. Meningkatnya minat masyarakat terhadap PLTS genting perlu diimbangi dengan pertimbangan sistem kelistrikan PLN agar keandalan jaringan tetap terjaga. Selain itu, diperlukan sistem pembagian akibat (risk sharing) antara pemerintah, PLN, dan pelaku usaha.
Ketiga, mendorong proyek percontohan untuk sistem penukaran daya (swap) alias Penggunaan Bersama Jaringan Transmisi (PBJT) nan telah diatur dalam PP No. 40/2025 dan Permen ESDM No. 11/2021.
Inisiatif ini ditujukan bagi industri nan mau menggunakan daya bersih untuk meningkatkan daya saing di pasar global.
Untuk mendukung strategi utama tersebut, ICEF dan IESR merekomendasikan enam aspek pendukung nan perlu dibangun dalam empat tahun ke depan.
Pertama, edukasi dan partisipasi publik agar masyarakat memahami dan menerima transisi energi. Kedua, support izin nan membikin proyek daya terbarukan layak dan bankable.
Insentif dan subsidi perlu dialihkan dari daya fosil menuju daya terbarukan agar menarik investasi. Ketiga, penyelarasan instrumen finansial dan pasar karbon.
Integrasi antara kebijakan finansial dan kebijakan teknis diperlukan untuk membikin proyek daya terbarukan lebih menarik secara ekonomi.
Keempat, penguatan sistem kelistrikan dan penyesuaian perjanjian pembelian listrik (Purchase Power Agreement, PPA) diperlukan untuk memastikan keandalan, termasuk penerapan teknologi smart grid.
Kelima, pengembangan kompetensi hijau seperti pendidikan dan training untuk mempersiapkan SDM menghadapi kebutuhan teknologi baru dan pekerjaan hijau.
Keenam, pembuatan ekosistem hidrogen hijau dengan memperhatikan tiga aspek penentu keberhasilan, ialah nilai daya nan kompetitif, efisiensi teknologi, dan kesiapan prasarana rantai pasok.
Sripeni menegaskan agar transisi daya memberi akibat positif bagi masyarakat maka diperlukan kepemimpinan nasional nan mempunyai komitmen, konsistensi, dan kontinuitas kebijakan.
Sejak pertama kali digelar pada 2018, IETD menjadi forum tahunan nan membahas rumor strategis transisi daya nasional. Tahun ini, IETD 2025 berjalan pada 6-8 Oktober 2025, diselenggarakan oleh Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) dengan support British Embassy Jakarta melalui proyek Green Energy Transition Indonesia (GETI).
(inh)
7 jam yang lalu
English (US) ·
Indonesian (ID) ·